a. Riwayat
Singkat Imam Abu Hanifah
Imam Hanafi (Imam
Abu Hanifah) bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al-Kufi, lahir di Irak
(Kufah) pada tahun 80 Hijrah (699 M). Ia hidup pada dua masa, yaitu pada masa
kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa kekhalifahan Bani
Abbas. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena sesungguhnya sejak
kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa dan keji.[1][1]
Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia
(Kabul-Afganistan), ia dinamai an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada
salah seorang raja Persia yang bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah
dari Bani Umayyah yang ke V). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada Zaman
Umayah dan 18 tahun pada zaman ‘Abasiyah.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan
otaknya, Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan,
terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Kendati anak seorang saudagar kaya,
ia sangat menjauhi hidup yang bermewah-mewah. Begitupun setelah menjadi seorang
pedagang yang sukses . hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk
kepentingan sendiri, misalnya memberi kebutuhan makan dan menguatkan pasukan
Imam Zaid ketika memberontak khalifah Bani Umayah.
Perhatian Abu Hanifah yang sangat tinggi terhadap ilmu
pengetahuan, menyebabkan dirinya menjadi seorang imam yang besar dan terkenal
pada saat itu (sampai sekarang, penulis), dan ketenarannya itu didengar Yazid
ibn Umar ibn Hubairah (seorang Gubernur Irak), sehingga Yazid meminta Abu
Hanifah untuk menjadi qadhi. Karena
menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah ditangkap, dipenjarakan, dan dicambuk.
Tetapi atas pertolongan juru cambuk, Abu Hanifah berhasil meoloskan diri dari
penjara dan pindah ke Mekah. Setelah Umayah berakhir, ia kembali ke Kufah dan
menyambut kekuasaan Abasiyah dengan rasa gembira.
Sikap politik Abu Hanifah berpihak pada keluarga ‘Ali (ahl a-Bait). Hal itu digambarkan oleh
Abdurrahman Asy-Syarqawi sebagai berikut :
“Kecintaan kepada Ahlul Bait
telah demikian telah demikian melekat dalam hati Abu Hanifah sejak ia
berkenalan dengan para Imam Ahlul Bait
dan menimba pengetahuan dari mereka. Ditambah lagi setelah ia menyaksikan
bentuk-bentuk penganiayaan yang dialami oleh Ahlul Bait dengan sangat getirnya, baik siang maupun malam…..”
sementara itu, pada masa Bani Abasiyah berbagai fitnah telah melanda keturunan
Ali, namun Abu Hanifah berfatwa, “Bani Ali adalah para pemegang kebenaran.”
Penguasaan terhadap berbagai ilmu seperti ilmu fiqih,
ilmu tafsir, hadist, bahasa Arab dan ilmu hikmah, telah mengantarkannya sebagai
ahli fiqih dan keahliannya itu diakui oleh para ulama pada zamannya. Keahlian
tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’I bahwa “Abu Hanifah adalah bapak dan
pemuka seluruh ulama fiqih”. Imam Abu Hanifah kemudian mendirikan sebuah
lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqih untuk bermusyawarah tentang
hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai
perundang-undangan dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum
yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya
bekaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Akibat siksaan di penjara, kesehatan Abu Hanifah
menurun. Ia meninggal dunia tahun 150 H dengan diantar oleh lima puluh ribu
penduduk Irak. Khalifah “terpaksa” menshalati Imam Abu Hanifah dan dengan penuh
penyesalan ia berkata, “Siapakah yang dapat memaafkanku terhadap Abu Hanifah,
baik ketika ia hidup maupun setelah meninggal.” Ia meninggal dunia seperti
matinya orang-orang shiddiq dan para syuhada.
b. Pemikiran
Mazhab Imam Hanafi
Mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia
dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam mazhab
ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :
“Fiqih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam
Abu Hanifah dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan.
Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni
apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas,
dan apabila qiyasnya buruk (tidak
rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah
dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah
hingga tercapai tujuan berbagai masalah.
Alasannya : kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.
Mereka dapat mendahulukan qiyas
apabila suatu hadist mereka nilai sebagai hadist ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di
kalangan mazhab Hanafi adalah :
1) Al-Qur’an
2) Sunnah
Nabi SAW
3) Fatwa sahabat
4) Qiyas
5) Istihsan
6) ‘Ijma
Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau
prinsip ijtihad Hanafi menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai
martabat manusia, kebebasan berpikir, dan kemaslahatan umat.”
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya
antara lain :
a. Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani
b. Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Al-Maruzi (w. 344 H)
c. Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan
dianggap sebagai kitab induk mazhab Hanafi ) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh
Imam as-Sarakhsi
d. Al-Kharaj,
Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, yang dilestarikan oleh
Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh mazhab Hanafi
Mazhab Al-Hanafiyah
sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam
masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para
pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:[2][2]
1. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah
hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak
menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula
seperti mengqiyaskan suatu masalah
dengan masalah lain yang punya dalil nash
syar’i.
2. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang
beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun
pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam
Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
0 komentar:
Posting Komentar