الإِجْتِهَادُ هُوَ إِسْتِفْرَاغُ
الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيقِ الإِسْتِنْبَاطِ فِي الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ
“Ijtihad
ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan cara
istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada
Alquran dan sunah”.[2]
Ijtihad
secara bahasa berarti berusaha bersungguh-sungguh. Mengerjakan segala sesuatu
dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqih, ijtihad identik dengan kata
“istinbath” yang artinya, mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
ijtihad, diantaranya:
Ø Menurut Kasuwi Saiban: ijtihad adalah segala upaya yang
dicurahkan ujtahid dalam berbagai bidang
ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya.
Ø Ibrahim Hosen: ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan sunnah rasul, baik
melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariah yang
disebut mashlahat.
Ø Ahmad Azhar Basyir: ijtihad adalah penggunaan akal fikiran
semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara’.
Ø Jumhur ulama: mengarahkan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih
atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dzani mengenai hukum syara’.
Ø Depag RI: ijtihad adalah mengerahkan semua potensi dan kemampuan
semaksimal mungkin untuk mendapatkan hukum-hukum syariah berdasarkan
dalil-dalil syara’.
B. Ruang Lingkup Ijtihad
Permasalahan yang dapat diijtihadi ialah:
a) masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas).
b) masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali.
Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:
èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ... ( ÇËÈ
“Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali.” (Q.S. An-Nur: 2)
C.
Hukum Ijtihad
1.
Wajib ‘ain, Yaitu bagi seorang
mujtahid yang ditanya tentang masalah, sedang masalah tersebut akan segera
hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain
apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
2.
Wajib kifayah, yaitu
bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak
dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia
sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya
meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
3.
Sunnat, yaitu ijtihad
terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau
tidak.
D.
Syarat-Syarat Ijtihad
1.
Bersifat
adil dan takwa.
2.
Memahami Al-Quran dan
Al-Hadits. Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak
boleh berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh
dilakukan apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau
Al-Hadits.
3.
Mengetahui hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Ijma’. Sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan
dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
4.
Mengetahui serta
memahami bahasa Arab. Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir,
mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlaq,
muqayad, mantuq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan
Al-Hadits.
5.
Mengetahui Ilmu Ushul
Fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan
pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini
sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal-soal
cabang kepada soal-soal pokoknya.
6.
Mengetahui nasikh dan
mansukh. Sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah
dimansukh.
E.
Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
·
Mujtahid mutlak, yaitu
yang memiliki syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum
dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab.
·
mujtahid muntasib,
yaitu orang yang mempunyai sarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan dirinya
kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh imam
madzhab tersebut dalam berijtihad.
F.
Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai
kebenaran dalam hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i.
Tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang
mencapai kebenaran dan ada yang tidak.
Sabda Rasulullah saw. Artinya : “seorang hakim apabila
berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala
apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia
mendapat satu pahala” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu.
Sebagian mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran
dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran
dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena
kekeliruannya.
G. Pendapat Para Ulama tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat.
Para Ulama sepakat bahwa Nabi boleh berijtihad dalam
masalah yang berhubungan dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan,
perdamaian, menentukan startegi dan lain-lain.
Adapun ijtihad Nabi dalam hukum-hukum syari’ah, maka para
ulama berbeda pendapat:
·
Menurut golongan
Asy’ari Nabi tidak berijtihad sebab ia terhindar dari kemungkinan salah. Mengapa
Nabi boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
·
Menurut golongan yang
lain, Nabi boleh berijtihad, dan kalaupun salah maka Allah akan memperbaiki
kekeliruannya.
Adapun mengenai
kebolehan para sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pendapatnya.
Pendapat yang kuat membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan
dengan Nabi maupun dikala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata
kepada ‘Amr Bin Ash: putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata: apakah
saya boleh brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi: Ya, apabila tidak benar
kamu mendapat satu pahala’.
H. Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan
urutan-urutan di bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang
lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Urutan tersebut adalah
sebagai berikut:
Dalil dalam bentuk:
a. Nash-nash Al-Quran
b. Hadits Mutawattir
c. Hadits Ahad
d. Zhahir Al-Quran
e. Zhahir Hadits
f. Dalil Mafhum
g. Mafhum Al-Quran
h. Mafhum Hadits
i.
Perbuatan dan Taqrir Nabi
j.
Qiyas
k. Bara’ah Ashaliyah
Kalau ia menghadapi
dalil-dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh beberapa alternatif berikut:
a. Memadukan/mengkompromikan dalil-dalil tersebut
b. Mentarjihkan (menguatkan salah
satunya)
c. Menashkan; yaitu dicari mana
yang lebih dulu dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan
(tidak berlaku lagi)
d. Tawaqquf, yakni membiarkan atau
tidak menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut.
e. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya
I. Ijtihad dan Contoh Pemikiran Imam Empat Madzhab
1. MADZHAB HANAFI (80-150 H/ 699-767 M)
Biografi singkat Imam
Abu Hanifah.
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Nu’man
bin Tsabit bin Zuthi. Beliau hidup 52 tahun pada zaman Dinasti Umayyah dan 18
tahun pada zaman Dinasti Abbasiyyah. Secara politik ia berpihak kepada keluarga
‘Ali (Ahlul Bait) yang selalu ditindas dan dianiaya oleh Dinasti
Umayyah. Beliau
dilahirkan di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H. Beliau menolak menjadi hakim
atas tawaran Khalifah al-Manshur pada masa Dinasti Abbasiyah, yang
mengakibatkannya dipenjara dan dicambuk. Akibat penderitaannya dalam penjara
beliau meninggal pada tahun 150 H.
Metode ijtihad pokok
Abu Hanifah
·
Al-Qur’an
·
Sunnah Rasulullah dan atsar yang shahih yang diriwayatkan orang tsiqah.
·
Ijma sahabat. Apabila yang di carinya
tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada ijma'
sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang sama
dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah satu pendapat
yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan meninggalkan
pendapat yang lain.
·
Qiyas. Apabila beliau tidak
menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat, beliau melakukan
ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu.
·
Qaul sahabat, apabila ada ikhtilaf, aku akan mengambil pendapat sahabat yang aku
kehendaki dan aku tidak akan berpindah dari pendapat satu ke pendapat sahabat
lain.
·
Apabila didapatkan
pendapat Ibrahim, Sya’bi dan Ibn Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad.
·
'Urf. Metode ijtihad yang
terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi.
Metode ijtihad Abu
Hanifah yang bersifat tambahan.
·
Dilalah lafadz ‘am
adalah qath’i, seperti lafadz khash
·
Pendapat sahabat yang
tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
·
Banyaknya yang
meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
·
Adanya penolakan
terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
·
Apabila perbuatan rawi
menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan riwayatnya
·
Mendahulukan qiyas jali
atas khabar ahad yang dipertentangkan
·
Menggunakan istihsan
dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Contoh Pendapat Abu
Hanifah:
·
Benda wakaf masih tetap
milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ’ariyah (pinjam
meminjam). Karena masih tetap milik wakif, maka benda wakaf dapat dijual,
diwariskan dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk
mesjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan
wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun
wakif telah meninggal dunia. (Istihsan)
·
Perempuan boleh menjadi
hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan
perkata pidana. Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi
pidana, perempuan hanya dibenarkan menjadi sanski perkara perdata. Karena itu
menurutnya perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.
Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan
menjadikan kesaksian sebagai ashl dan menjadikan hakim sebagai far’i.
Kitab rujukan Madzhab
Hanafi
Masalah-masalah fiqh yang
terdapat dalam Madzhab Hanafi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
·
Al-Ushul, yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir riwayah, yaitu pendapat yang
diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad.
Adapun kitab yang termasuk zhahir riwayah ada enam buah, yaitu al-Mabsuth atau
al-Ashl, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar
al-Shaghir dan al-Ziyadat. Keenam kitab itu kemudian disusun menjadi satu kitab
yaitu al-Kafi oleh Hakim al-Syahid. Selanjutnya, kitab ini disyarahi oleh
Syamsuddin al-Syarkhasi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth (30 jilid).
·
Al-Nawadir, yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya
yang tidak terdapat dalam zhahir riwayah. Kitab-kitab yang termasuk Nawadir
yaitu al-Kaisaniyyat, al-Ruqayyat, al-Haruniyyat dan al-Jurjaniyat.
·
Al-Fatawa, adalah pendapat-pendapat para pengikut Abu Hanifah (Hanafiyah), yang
tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah, seperti Kitab al-Nawazil karya Abi Laits
al-Samarqandi.
2. MADZHAB MALIKI
Biografi singkat Imam
Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah
Malik bin Anas bin Abi ‘Amar al-Ashbahi. Beliau di lahirkan di Madinah pada
tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua
zaman. Ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan
Walid bin Malik (setelah Umar bin Abdul Aziz), dan meninggal pada masa Dinasti
Abbasiyah, tepatnya pada masa Harun al-Rasyid, yaitu pada tahun 179 H. Beliau
merasakan pemerintahan Umayyah selama 40 tahun dan pemerintahan Abbasiyah
selama 46 tahun.
Metode ijtihad Imam
Malik
Dalam proses Istinbath al-Ahkam Imam Malik menempuh cara sebagai berikut:
1) Mengambil dari al-Qur’an
2) Menggunakan “zhahir” al-Qur’an, yaitu lafadz umum.
3) Menggunakan “dalil” al-Qur’an, yaitu mafhum muwafaqah
4) Menggunakan “mafhum” al-Qur’an yaitu mafhum mukhalafah
5) Menggunakan “tanbih” al-Qur’an, yaitu memperhatikan illat.
Dalam Madzhab Maliki lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah,
langkah berikutnya adalah: ijma’, qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, sadz
dzara’i, mashlahah mursalah, qaul shahabi, mura’at al-khilaf, istishhab dan
syar’u man qablana. Sementara itu salah satu penerus Madzhab Maliki yaitu
al-Syathiby menjelaskan bahwa dalil hukum bagi Madzhab Maliki adalah al-Qur’an,
al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas. Salah satu dalil hukum yang sering dijadikan
oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Beliau lebih mengutamakan ijma’ dan
Amal ulama Madinah daripada qiyas, khabar ahad dan qaul shahabat.
Kitab rujukan Madzhab
Maliki
Kitab utama yang menjadi
rujukan Madzhab Maliki:
·
Al-Muwaththa’ karya
imam malik.
·
Al-Mudawwanah al-Kubra
karya Abdussalam Tanukhi.
·
Bidayah al-Mujtahid wa
al-Nihayat al-Muqtashid karya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn
Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi.
·
Fath al-Rahim ‘ala Fiqh
al-Imam Malik bi al-Adillah karya Muhammad ibn Ahmad.
·
Al-I’tisham karya Abi
Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
Adapun kitab Ushul Fiqh dan Qawa’id al-Fiqh aliran Madzhab Maliki antara
lain sebagai berikut:
·
Syarh Tanqih al-Fushul
fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul dan al-Furuq karya Syihabuddin Abu al-Abbas
Ahmad ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H)
·
al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
·
Ushul al-Futiya karya
Muhammad ibn al-Harits al-Husaini (w. 361 H)
Contoh pendapat Imam
Malik
Ulama sepakat bahwa adzan
shalat dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
jumlah jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat shalat dilakukan satu
kali-satu kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat yang dilakukan dua kali-dua
kali, imam malik menjawab, “Tidak sampai kepadaku dalil tentang adzan dan
qamat salat,aku hanya mendapatkannya dari amal manusia… qamat shalat dilakukan
satu kali-satu kali. Itulah yang senantiasa dilakukan oleh ulama dinegeri kami.
(Ijma’ Ulama Madinah)
3. MADZHAB SYAFI’I
Biografi singkat Imam
Syafi’i
Nama lengkap Imam
al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn
al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthallib ibn Abdul
Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H,
kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau lahir pada zaman
Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al-Manshur (137-159
H/ 754-774M). Al-Syafi’i berusia 9 tahun ketika Abu Ja’far al-Manshur diganti
oleh Muhammad al-Mahdi (159-169 H/ 775-785M)
Metode ijtihad Imam
Syafi’i
Cara ijtihad Imam Syafi’i secara umum yaitu berdasarkan:
1) Al-Qur’an dan al-Sunnah
2) Ijma’terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ijma’ lebih diutamakan atas khabar mufrad.
3) Qaul sebagian sahabat tanapa ada yang menyalahinya.
4) Pendapat sahabat nabi yang ikhtilaf.
5) Qiyas terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
6) Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk
berkualitas (muntaha).
7) Makna dzahir hadits diutamakan. Ia menolak Hadits munqathi’, kecuali yang
diriwayatkan oleh Ibn Musayyab.
8) Pokok (al-Ashl) tidak boleh diqiyaskan kepada pokok. Bagi pokok,
tidak perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana, keduanya itu yaitu mengapa dan
bagaimana hanya boleh dipertanyakan kepada cabang (furu’).
9) Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar.
Kitab rujukan Madzhab
Syafi’i
Kitab al-Umm, al-Risalah, Musnad Imam Syafi’i, al-Hujjah dan al-Mabsuth, kesemuanya
merupakan karya al-Syafi’i.
Pendapat-Pendapat
1) Tertib dalam wudhu Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah
Orang yang wudunya tidak tertib meskipun karena lupa adalah tidak sah
2) Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu
3) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil) Shalat
isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan (ta’khir)
4) Waktu pengeluaran zakat fitrah. Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri
setelah terbit fajar (waktu subuh tiba) Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada
malam hari idul fitri setelah matahari terbenam (waktu maghrib tiba)
5) Meninggalkan bacaan Fatihah karena lupa Seseorang yang shalat dan tidak
membaca surat al-Fatihah karena lupa, salatnya adalah sah Seseorang yang shalat
dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang
bersangkutan ingat atau sesudahnya sebelum berdiri yang kedua, ia kembali
berdiri dan membaca al-Fatihah ketika berdiri tersebut apabila yang
bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua, maka rakaat tersebut dianggap
sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan baru teringat setelah salam,
maka shalatnya wajib diulangi.
6) Tayammum dengan pasir. Seseorang dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang
tidak dibolehkan tayammum dengan pasir.
4. MADZHAB HANBALI
Metode ijtihad Imam
Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin
Hanbal di bangun atas lima dasar, yaitu sebagai berikut:
1) Al-Nushush dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari
keduanya, ia berpendapat sesuai dengan makna tersurat (manthuq),
sementara makna tersiratnya (mafhum) ia abaikan.
2) Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa
sahabat dan memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah.
4) Menggunakan hadits mursal dan dha’if, apabila tidak ada atsar,
qaul sahabat, atau ijma yang menyalahinya.
5) Apabila hadits mursal dan dha’if sebagaimana disyaratkan di atas tidak
didapatkan, ia menganalogikan (mengqiyaskan). Dalam pandangannya qiyas
adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
6) Langkah terakhir adalah menggunakan Sadz al-dzara’i.[4]
J. ITTIBA’
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu: menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu: menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah:
! (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Artinya :”Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”(An
Nahl: 43)
Maksud ayat tersebut yakni, tanyakan kepada mereka dari
ilmu mereka yang dari al-Quran dan hadits dan bukan dari pendapat mereka
semata. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah al-Quran dan hadits. Dengan
demikian yang dimaksud Ahli Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan Ahli
Hadits. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawablah : Allah
menetapkan begini, atau dalam hadits disebutklan begitu, dan sebaginya.
K. TAKLID
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.[5]
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.[5]
Firman Allah:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya : “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan)
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabannya”(Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya
diperhatikan syarat-syarat orang yang ditaklidi, indentitasnya, kualitas
ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Haram
hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah,
begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indentitas serta keahliannya
dalam syariah Islam.
Syarat orang yang
bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa)
yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti
pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan
sanggup mencari sendiri hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila
kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang
ibadah), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai
lainnya.
Syarat syarat Masalah yang Ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum
Syara’. Dalam masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain,
seperti mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal
ini karena jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang
setiap orang memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang
lain.
Allah mencela dengan
keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAt“Rr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZø‹xÿø9r& Ïmø‹n=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«ø‹x© Ÿwur tbr߉tGôgtƒ ÇÊÐÉÈ
Artinya: “Apabila dikatakan
kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab:
“(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan)
nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk “. (Al-Baqoroh:
170)
Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua
bagian, yaitu:
a. Diketahui dengan pasti dari agama Islam, seperti wajibnya shalat lima
waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan
lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh taklid, karena semua orang dapat
mengetahuinya.
b. Yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti
soal-soal ibadah tertentu, dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat empat imam
madzhab dan Ulama lainnya tentang taqlid:
·
Imam Abu Hanifah
berkata: Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka
tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan
saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
·
Imam Malik berkata:
saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar, selidikilah dahulu
pendapat saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang
menyalahi hendaklah ditinggalkan.
·
Imam Syafi’i berkata:
Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang
yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada
ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
·
Imam Ahmad bin Hanbal
berkata: Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau
Auza’i tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
·
Ibnu Ma’sud berkata:
kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir
maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.
0 komentar:
Posting Komentar