BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Pernikahan
lintas agama merupakan sebuah realitas. Bahkan Rasulullah SAW sendiri telah
melangsungkannya. Pada Permulaannya
pernikahan lintas agama belum diatur dalam Islam. Setelah turunQS.al-baqoroh : 221 dan QS. Alamaidah: 5,
barulah masalah tersebut diatur. Secara normatif ketentuan memperkenankan
laki-laki muslim menikahi wanita ahlu kitab, namun wanita muslimah sama sekali
tidak diperbolehkan menikahi laki-laki ahlu kitab. Al-Quran membolehkan
laki-laki muslim menikahi wanita ahlu kitab untuk dakwah dan hal ini dapat
dilakukan pada saat kondisi umat Islam kuat. Inti ajaran Islam adalah
memelihara dien, nafs (jiwa)
nasl (keturunan), mal (harta), dan aql (akal). Sehingga,
kerusakan terhadap salah satunya harus dihindarkan.
Paham liberalisme yang berkembang di Indonesia telah
merusak tatanan ijtihad para ulama fikih mengenai hukum pernikahan lintas agama.
Permasalahan hukum nikah lintas agama tersebut didestruk dengan berbagai
metodenya. Berangkat dari asumsi yang salah, bahwa pernikahan bukanlah termasuk
ibadah dalam Islam, mendekonstruksi makna musyrik, Dari asumsi ini melahirkan
'ijtihad' baru, yakni seorang muslim baik yang laki-laki maupun perempuan boleh
menikahi non muslim secara mutlak. Walhasil, ayat-ayat
Allah, hadits nabi serta ijtihad ulama bagi mereka sudah tidak relevan lagi.
Kajian
ini cukup penting mengingat upaya pelegalan pernikahan beda agama didukung
dengan pemikiran-pemikiran liberal. Dampak pemikiran-pemikiran destruktif yang
dilandasi pluralisme akan membuat keragu-raguan umat Islam dalam meyakini
kebenaran Islam yang dianut selama ini.
Hal ini tentunya sangat merugikan umat islam.
1.2 tujuan
Setelah
mempelajari makalah ini diharapkan mahasiswa memahami
:
·
Hukum Pernikahan yang
dilakukan lintas agama
·
Nikah dalam pandangan
islam liberal
·
Nikah lintas agama
dalam kacamata syariat islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Perkawinan Lintas Agama
Sebagaimana
telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama
Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama
non-Islam.Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama
Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun
musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak
beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Islam
melarang keras laki-laki Muslim menikahi perempuan Musyrikh, hukum Islam
membagi agama-agama yang ada di dunia menjadi 2 bagian: a) Agama Samawi; yakni
agam yang berasal dari wahyu Allah kepada para Nabi untuk disampaikan kepada
umatnya. b) Agama Ardli; adalah agama yang berasal dari manusia tanpa dasar dan
petunjuk dari Allah, tanpa kitab dan tidak mempunyai Nabi.
Terjadi
juga perbedaan pendapat mengenai orang alhi kitab itu disebut musyrik atau
bukan musyrik. Golongan Syi’ah berdasarkan pada surat al-Baqarah:221.
Mengatakan bahwa yang dinamakan wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir,
karena wanita-wanita alhi kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah). Dalam
firman Allah surat Al-Mutahannah: 10;
“….Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir….”
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, bahwa mereka berpendapat, ahli kitab itu termasuk
orang-orang kafir. Dengan demikian hukumnya tetap diharmkan menikahi orang ahli
kitab.
Kalau kita
perhatikan pendapat Syi’ah (Imamiyah dan Zaidiyah), maka mereka menganggap,
bahwa ahli kitab itu musyrik. Akan tetapi di dalam al-Qur’an sendiri dinyatakan
banwa antara ahli kitab dan musyrik itu tidak sama, sebagaiman firman Allah
Al-Bayyinnnah: 6:
Orang-orang kafir Yakni
ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
Dalam ayat tersebut
cukup jelas, bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.
2.2 Pernikahan
Lintas Agama Menurut Agama-agama yang ada di Indonesia
Semua
agama yang ada dan di akui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia, pada
hakikatnya, berpendapat bahwa perbedaan agama merupakan halangan bagi pria dan
wanita untuk melangsungkan pernikahannya secara sah. Sebagai contoh, ambillah
agama Katolik, Protestan dan Islam, agama-agama yang relative banyak pemeluknya
di tanah air.
Agama
Katolik dengan tegas menyatakan bahwa “Pernikahan atara seorang katolik dengan
penganut agama lain, tidak sah (Kanon 1086). Namun demikian bagi mereka yang
tidak dapat dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat
greja yang berwenang yakni uskup dapat member despensasi dengan jalan
menikahkan pemeluk agama katolik dengan pemeluk agama lain, asal saja keduanya
memenuhi syarat yang ditentukan hukum greja dalam Kanon 1125 yakni 1) yang
beragam Katolik berjanji (i) akan tetap setia pada iman Katolik, dan (ii)
berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik,
sedang (2) yang tidak beraga Katolik berjanji antara lain (i) menerima
pernikahan secara Katolik, (ii) tidak akan menceraikanpihak yang beraga
Katolik, (iii) tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik melaksanakan
imannya, dan (iv) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
Menurtu
pandangan Greja Katolik, perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda akan
menimbulkan berbagai konflik atau pertentangan dalam kehidupan keluaraga atau
rumah tangga. Konflik-konflik yang akan timbul adalah konflik iman, konflik
batin, konflik hak asasi, konflik system nilai, konflik kewajiban asasi
terhadap anak, konflik kejiwaan dan kebingungan pada anak-anak dan
konflik-konfilik yang lainnya terutama setelah api cinta tidak lagi menyala.
Oleh karena itu, menurut agama Katolik, pernikahan antara orang-orang yang
berbeda agama hendaklah dihindari.
Greja
dapat mengizinkan perkawinan antara orang yang berbeda agama yaitu orang-orang
Kristen dengan orang yang beragam lain, asal dipenuhi beberapa syarat yang
ditetapkan oleh masing-masing greja, yang berbeda satu dengan yang lain. Greja
Kresten Indonesia, misalnya, menetapkan antara lain, (1) yang beragama Kristen
Protestan harus menandatangani suatu perjanjian yang berisi (i) tetap akan
melaksanakan iman Kristennya (ii) aka membaptis anak-anak yang lahir dari
perkawinan itu secara Kristen, dan (iii) berjanji akan mendidik anak-anak
mereka secara Kristen. (2) yang bukan beragama Kristen Protestan harus
menandatangani surat pernyataan, bahwa ia (i) tidak keberatan perkawinan
dilaksanakan di greja Protestan, (ii) tidak keberatan anak-anak mereka dididik
secara Protestan.
Kalau
dibandingkan Perkawinan antar orang yang beraga Kristen dengan orang yang bukan
beraga Kristen, katakanlah beragama Islam, Gereja Kristen Protestan lebih
menyukai perkawinan antar pemeluk agama Kristen dengan pemeluk agama Katolik.
Ini disebabakan karena agama Kristen Protestan memandang perkawinan dengan
agama Katolik, sesungguhnya, bukanlah perkawinan berbeda agama, tetapi
perkawinan antara orang-orang yang berbeda gereja, karena pemeluk agama
mempunyai kitab suci yang sama dan masih dipersatukan dalam “satu tubuh Yesus
Kristus” seperti yang telah disinggung di atas dan mempunyai misi yang sama
pula.
Ole karena itu,
komperensi Wali Gereja Indonesia (Katolik) dan Persatuan Gereja Indonesia
(Protestan) dalam seminrnya tentang perkawinan antara pemeluk agama yang
berbeda, yang diselenggarakan di Malang tanggal 12-14 Maret 1987, memutuskan
mengenai perkawinan Lintas Agama antara lain sebagai berikut (i) Perkawinan
campuran berbeda gereja sudah sepenuhnya diterima antara gereja-gereja anggota
Persatuan Gereja Indonesia (PGI=Protestan), (ii) perkawinan antara
Protestan dengan Katolik, pada umumnya, sudah diterima (juga) berdasar
banyak-(nya) persamaan, (iii) perkawinan antara Protestan dan Katolik sudah
semakin umum dilaksanakan secara pindah Gereja.
Mengenai
masalah perkawinan karena perbedaan agama antara agama Kristen dengan pemeluk
agama Islam, misalnya. Kesimpulannya: a) mereka yang memang benar-benar berbeda
agama, MDA dianjurka untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap
menganut agam masing-masiang, b) kepada mereka diadakan pengembalaan secara
khusus, c) pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka, d) apabila
kemudian mereka bertobat dan menjadi Kristen, perkawinan mereka dapat diberkati
oleh gereja, e) kepada mereka diberi petunjuk untuk mengubah atau menambah
keterangan pada surat nikah mereka yang lama yang menyatakan bahwa mereka sudah
menjadi Kristen.
Mengenai
perkawinan antar orang-orang yang beda agama. Melalui syari’at atau hokum
agamanya, Islam telah mengaturnya secara jelas dalam al-Qur’an surat –surat
al-Baqarah (2): 221, al-Mumtahanah (60): 10, dan al-Maidah (5): 5.
2.3 Menurut
Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Undang-undang
perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai
cirri khas kalu dibandingkan dengan hokum perkawinan sebelumnya terutama dengan
undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh
pemerintah colonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau
perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hokum agama. Undang-undang
perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya
sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai
dengan cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental
Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan
dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab
Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Anak
kalmiat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2 Pasa 29
Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan
berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan di
sahkan pada tahun 1974, seperti telah disinggung di muka, bahwa perkataan
kepercayaan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan yang berasal
dari Undang-undang Dasar 1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui
eksistensinya dalam Negara Republik Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang
ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di bawah judul agama dan perkataan itu
yang terletak setelah perkataan “kepercayaan” dimaksud. Kepercayaan menurut
aliran kepercayaan adalah kepercayaan menurut agama. Oleh Karena itu adalah
logis kalau aliran kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.
Dengan
demikian, di dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh ada dan tidak boleh
dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan agama yang diakui
eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan
Buda di tanah air kita. Dan sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa
perkawinan adalah sah kalu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan agama,
maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan
dengan hukum agama yang dipeluk oleh warga Negara Republik Indonesia.
Tentang perkawinan
oran-orang berbeda agama, akalau dihubungkan dengan Undang-undang Perkawinan
(1974) terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:
1)
Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama
dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan
seseorang untuk menentukan pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pegaulan hidup bersama dalam
masyarakat. Menurut pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat mempergunakan
S. 1898 No. 158 tentang perkawinan campuran peninggalan belanda dahulu sebagai
landasan dan mencatatkannya pada kantor Catatan Sipil di tempat mereka melangsungkan
pernikahan.
2)
Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUD No. 1 Tahun 1974, tidak mengatur
perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama. Menurut pendapat
ini, perkawinan antar pasangan yang berbeda agama yang saling jatuh cinta dan
ingin menjalin hubungan dalam bentuk keluarga. Karena itu, kata penganut
pendapat ini, perlu dirumuskan ketentuan hukunya. Daripada membiarkan
kemaksiatan, lebih baik membenarkan atau mengesahkan pernikahan orang-orang
yang saling jatuh cinta itu, meskipun keyakinan agama yang mereka anut berbeda.
3)
Pendapat yang ketiga ini mengatakan bahwa perkawinan campuran antara
orang-orang yang berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang
yaitu Pemerintah dan DPR Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegas
dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1 mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8 huruf
(f) mengenai larangan perkawinan. Dalam pasal huru (f) Undang-undang perkawinan
dengan jelas dirumuskan bahwa, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang beralaku dilarang
kawin”. Artinya Undang-undang Perkawinan melarang dialkukan atau disahkan
perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam
Republik Indonesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan ini
Selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing agama. Oleh karena itu
pula pembenaran dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang yang berbeda
agama, selain dengan bertentangan dengan agama atau hukum agama, sesungguhnya,
bertentangan pula dengan Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi segenap
warga Negara dan penduduk Indonesia.
2.4
perkawinan beda agama dalam hukum islam
Rukun
perkawinan ada empat yaitu adanya calon mempelai, wali, saksi dan akad nikah. Ulama
ada yang menambahkan rukun perkawinan dengan adanya mahar. Berkaitan dengan
rukun yang pertama yaitu adanya calon mempelai, apakah boleh perkawinan
dilaksanakan antara seorang laki-laki Islam dengan seorang wanita yang bukan
Islam ?
Untuk
menjawab permasalahan ini, maka perlu diketahui syarat yang mengikuti rukun
pertama. Untuk sahnya seorang calon mempelai wanita maka harus memenuhi syarat
yaitu wanita itu bukanlah termasuk dalamgolongan wanita yang haram untuk
dinikahi baik selama-lamanya atau untuk sementara waktu. Yang termasuk dalam
wanita yang haram untuk dinikahi selama-lamanya adalah wanita yang berlainan
agama, wanita yang mempunyai hubungan darah serta wanita yang mempunyai
hubungan susuan dan semenda.
Mengenai
larangan perkawinan karena beda agama terdapat dalam QS Al Baqarah ayat 221 dan
QS Al Maidah ayat 5,yang mengatur tentang larangan menikahi wanita yang berbeda
agama.
QS
Al Baqarah ayat 221 adalah
Terjemahan
QS Al Baqarah ayat 221 adalah :
Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
Dari
ketentuan itu dapat diketahui bahwa lelaki Islam dilarang untuk menikahi wanita
musyrik; Wanita Islam dilarang
dinikahkan dengan lelaki musyrik. Larangan yang terdapat dalam ketentuan QS Al
Baqarah ayat 221 itu karena orang musyrik itu membawa ke neraka, sedangkan
mentaati perintah Allah adalah membawa kepada kebaikan dan keampunan.
Selanjutnya
bagaimana apabila wanita sebagai calon mempelai itu adalah beragama Jahudi
maupun Nasrani ?
Mengenai
hal ini disebutkan dala QS al Maidah ayat 5, yaitu
Yang
terjemahannya adalah :
Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
akhirat termasuk orang-orang merugi.
Dari
ketentuan di tasa maka ahli kitab itu hala atau boleh dikawini. Menurut Sumiyati, ahli kitab itu misalnya
adalah orang Yahudi dan Nasrani, Bagi orang-orang yang beragama Yahudi maupun
Nasrani, walaupun berlainan agama ada ketentuan khusus, yaitu wanita-wanitanya
boleh dikawin. Sebabnya ialah mereka juga kedatangan kitab Illahi seperti orang
Islam pula. Mereka disebut ahlul al kitab atau ahlul kitab orang yang
kedatangan kitab Tuhan”.
Apa
yang dikemukakan oleh Sumiyati itu kurang tepat. Pengertian ahli kitab adalah orang yang
menyembah Allah SWT sebagai Tuhannya tetapi tidak mengakui Nabi Muhammad SAW
sebagai rasul utusan Allah. Ahli kitab adalah orang yang meyakini syahadat
Tauhid yaitu Laillahaillallah, yang artinya Tidak ada Tuhan selain
Allah, tetapi tidak meyakinai syahadat Rasul , yaitu Waashaduanna
Muhammadarrasullullah, yang artinya Nabi Muhammad utusan Allah.
Memang
orang-orang Yahudi dan Nasrani dahulu meyakini dan menyembah Allah sebagai
Tuhan mereka. Dikatakan dalam Al Qur’an mereka sebagai kaum nabi Musa AS. Tetapi pada saat ini mereka yang dahulu
termasuk dalam golongan ahli kitab telah berubah menjadi orang yang musyrik
dikarenakan sudah tidak meyakini Allah sebagai Tuhan dengan mengganti Tuhannya adalah
Yesus Kristus bukan Allah SWT. Sekarang mereka mengakui agamanya bukan lagi
agama Yahudi, tetapi sebagai agama Kristen protestan atau Kristen katolik.
Sehingga dengan beralihnya keyakinan syahadat Tauhid maka saat itu juga mereka
bukanlah golongan ahli kitab.
Untuk
saat ini, lelaki muslim hanya boleh kawin dengan wanita muslim. Apabila ada
yang menganggap boleh seorang lelaki muslim kawin dengan wanita ahli kitab
harus ditelusuri terlebih dahulu siapa Tuhannya. Apabila Tuhannya adalah Allah
SWT meskipun tidak meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai rasul dia dapat dikatakan
sebagai ahli kitab.
Jadi
perkawinan beda agama antara calon
mempelai adalah haram dan dilarang. Apabila diteruskan maka perkawinan itu
adalah tidak sah, dan hukumnya adalah zinah yang merupakan perbuatan haram
2.5 Pernikahan
Lintas Agama menurut Mazhab Empat
Sebagaimana
diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang
perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul
kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan
tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau
musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan
musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan
mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang
ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai
pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas
berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas
agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman
Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita
musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas,
karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki
kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa
saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya
makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang
besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh
tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan
minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab
Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (
Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada
hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan
mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak.
Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah
(menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan
kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian
halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita
ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab
Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa
Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi
dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
1) Karena
Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.
2) Lafal
min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada
dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut
mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut
agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu
semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut
Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan
Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min
qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada
mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi
wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda
agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi
tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari
Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi
dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Perkawinan lintas agama
adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang
beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam
(alh kitab atau Musyrik).
2.
pertama
hukum pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda agama, dengan cara
pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam
Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum
agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula
menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan campuran
antara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada dirinya.
Oleh karena itu tujuan perkawinan seperti tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang
Perkawian Indonesia adalah untuk membentuk rumah tanggga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, dalam perkawinan campuran orang-orang yang
berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut, sukar terwujud. Ketiga perkawianan
campuran antara orang-orang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum
perkawinan yang benar menurut hokum agama dan Undang-undang Perkawinan yang
berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini kendatipun ada kenyataan
dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan sendiri. Keempat Pria
atau Wanita yang akan melangsungkan perkawinan campuran bebeda agama
berdasarkan hak asasi dan menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Indonesia,
sebaiknya memeluk saja agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan demikian
berada di bawah naungan satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di tanah
air kita.
3.2 saran
Dengan membaca makalah
ini, pembaca disarankan agar bisa mengambil manfaat tentang pernikahan lintas
agama. Sehingga dapat mengetahui tentang hukum-hukumnya dan dapat
menggamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya,
Departemen Agama RI, 2004.
Abd,Mua’al M.al-Jabri. Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam.
(terjemahan)Risalah Gusti Surabaya,cet,ke-2 1994
Ahmad Jaiz, Hartono, 2004, Menangkal
Bahaya JIL dan FLA, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet. ke-3.
anonimius, 2004, Jejak Tokoh Islam
dalam Kristenisasi, Jakarta : Darul Falah, Cet. ke-1.
Asmin. 1986.Status
Perkawinan Antar Agama. Jakarta: PT. Dian Rakyat
Departemen Agama. Al-Quran dan terjemahannya. Surabaya
Mahkota Tahun 1989
Masail Fiqhiyah
Al-haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum Islam M.Ali Hasan.
Mukhtar, Kamal, Drs. , 1974, Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : PT Bulan Bintang, Cet. ke-2
Rofiah.2010.pernikahan
lintas agama.jakarta:press
Wijayanti,asri. 2011. Dasar hukum islam. Jakarta: renika cipta
0 komentar:
Posting Komentar