Haekal melukiskan kisah ini
sebagai "kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal
manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran,
keyakinan dan iman".
Yatsrib atau Madinah sudah pasti
menjadi masa depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan muslimin telah
menyelinap pergi ke sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli. Perhatian
mereka pada Muhammad yang masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan
lolos. Padahal Muhammad telah siap untuk pergi. Abu Bakar telah
menyiapkan dua unta baginya dan bagi Muhammad. Unta itu dipelihara
Abdullah bin Uraiqiz.
Sampai pada harinya, perintah
Allah untuk hijrah pun turun. Muhammad memberi tahu Abu Bakar. Para
pemuda Qurais juga semakin ketat memata-matai rumah Muhammad. Mereka
sesekali mengintip ke dalam rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat
tidurnya. Namun Muhammad meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari
Hadramaut serta tidur di dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir
Muhammad masih tidur. Ketika esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul,
mereka hanya mendapati Ali yang mengaku tak tahu menahu tentang
keberadaan Muhammad.
Malam itu, Muhammad telah
menyelinap dari jalan belakang. Bersama Abu Bakar, ia berjalan mengendap
dalam gelap, menuju sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan cerdik.
Kaum Qurais tentu menduga Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah.
Muhammad malah melangkah ke selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan
bahwa Muhammad tetap menggunakan nalar yang wajar sebagai manusia. Jika
mau, ia dapat meminta perlindungan Allah berwujud kesaktian seperti yang
dikejar-kejar banyak manusia sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan
bahwa Islam bukanlah agama untuk kepentingan semacam itu.
Muhammad dan Abu Bakar hanya
menjalankan siasat biasa. Dalam persembunyiannya, mereka tetap memasang
telinga melalui Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di Mekah.
Setiap malam, Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan
suasana serta mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya,
Asma. Setiap pagi, pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala
kambing menghapus jejak itu.
Tiga malam mereka bersembunyi di
gua itu. Satu riwayat menyebut sejumlah pemuda Qurais telah mencapai
bibir gua. Abu Bakar gemetar meringkuk di sisi Muhammad. Saat itu,
Muhammad berbisik. "La tahzan, innallaaha ma'ana (Jangan sedih, Allah
bersama kita) ". Rasul juga menghibur dengan kata-kata, "Abu Bakar,
kalau kau menduga kita hanya berdua, Allah-lah yang ketiga." Orang-orang
Qurais itu lalu pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta
burung merpati mengerami telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad
bersembunyi di situ.
Setelah aman, Abdullah bin
Uraiqiz membawa keluar mereka. Tiga unta beriringan ke Barat, berbekal
makanan yang diikat dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar disebut membawa
seluruh uang simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan
berputar menuju arah Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling
jarang dilalui manusia. Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke
Yatsrib, menapaki terik gurun. Siang-malam mereka terus berjalan.
Kaum Qurais membuat sayembara
dengan hadiah 100 unta bagi yang dapat menangkap Muhammad. Suraqa bin
Malik tergiur iming-iming itu. Ketika mendengar info ada tiga orang
berunta beriringan, ia mengelabui kawan-kawannya. "O.. itu adalah si
anu," begitu kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu kudanya
sendirian mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga
kudanya tersungkur. Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan
Muhammad. Suraqa lalu menyerah karena menganggap dirinya tengah sial.
Dua pekan kemudian, Muhammad
tiba di Quba -desa perkebunan kurma di luar kota Yatsrib. Ia tinggal di
sana selama empat hari dan membangun masjid sederhana. Di sana pula
Muhammad bertemu kembali dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib.
Mereka kemudian berjalan bersama menuju kota, dan disambut sangat meriah
oleh warga Yatsrib dengan bacaan salawat. Orang-orang Arab -baik yang
Islam maupun penyembah berhala-serta orang-orang Yahudi tumpah ruah
untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan.
Orang-orang berebut menawarkan
rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad menyebut bahwa ia
akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri. Sampai ke sebuah tempat
penjemuran korma, unta itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat itu
milik siapa. Ma'adh bin Afra menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail
-dua orang yatim dari Banu Najjar.
Setelah dibeli, rumah itu pun
dibangun menjadi masjid. Hanya sebagian dari ruangan masjid itu yang
beratap. Di sanalah orang-orang miskin --dari berbagai tempat yang
datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam-- kemudian ditampung.
Muhammad membangun rumah kecil bagi keluarganya di sisi masjid itu.
Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub
Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi
masjid Nabawi yang teduh di Madinah. Sedangkan rumah tinggalnya menjadi
tempat makam Rasul yang kini berada di dalam masjid Nabawi.
Pada usia 53 tahun -setelah 13
tahun masa kerasulannya serta membangun pondasi keislaman-Muhammad
membuat langkah besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun
mengantarkannya menjadi pemimpin utuh. Pemimpin keagamaan,
kemasyarakatan juga politik. Peristiwa pada tahun 623 Masehi itu
sekaligus mengajarkan keharusan umat Islam untuk berani menempuh langkah
besar untuk mencari lingkungan atau lahan baru yang memungkinkan benih
kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.
0 komentar:
Posting Komentar